Bagi rakyat Catalan, ada istilah semacam ‘El Barca Es Mas Que Un Club’ (Barca bukan hanya sekedar klub),
namun lebih dari itu. Barcelona merupakan cerminan dari dendam
‘pemberontakan’ dan perjuangan social-politik kaum tertindas,
terpinggirkan, terjajah di sebuah wilayah kekuasaan yang bernama
kerajaan Spanyol.
Gambaran perlawanan yang paling jelas adalah kalimat ‘Catalonia is Not Spain’
yang selalu menghiasi spanduk fans Barcelona ketika kesebelasan
kesayangan mereka bertanding-hadapan melawan Real Madrid, yang sudah
sejak tahun 1930-an, pada zaman Jenderal Franco yang kejam, merupakan
klub favorit pemerintah Spanyol.
Jenderal Franco melarang penggunaan bendera dan bahasa daerah Catalan.
FC Barcelona kemudian menjadi satu-satunya tempat dimana sekumpulan
besar orang dapat berkumpul dan berbicara dalam bahasa daerah mereka.
Oleh sebabnya, setiap laga El-Clasico pendukung Barca terlihat kerap
membawa bendera Catalonia (biru, kuning dan merah-marun) sebagai bendera
mereka, bukan bendera nasional Spanyol pada umumnya.
Di lapangan sepakbola, titik nadir permusuhan ini terjadi pada tahun 1941 ketika para pemain Barcelona diinstruksikan (dibawah ancaman militer) untuk kalah dari Real Madrid.
Sejak saat itu FC Barcelona menjadi semacam klub Anti-Franco dan
menjadi simbol perlawanan Catalonia terhadap Franco, dan secara umum,
terhadap Spanyol. Ada juga klub-klub lain di Catalonia seperti Athletic
Bilbao dan Espanyol. Athletic Bilbao sampai saat ini tetap pada
idealismenya untuk hanya merekrut pemain-pemain asli Basque, tetapi dari
segi prestasi tidak sementereng Barcelona.
Demikian juga dengan Espanyol. Sementara yang dijadikan simbol musuh, tentu saja, adalah klub kesayangan Franco yang bermarkas di ibukota Spanyol, FC Real Madrid. Sebagai sebuah simbol perlawanan, kultur dan karakter Barcelona kemudian terbentuk dengan sendirinya. Siapapun pelatihnya, dan gaya apapun yang dipakai, karakternya hanya satu: Menyerang!.
Demikian juga dengan Espanyol. Sementara yang dijadikan simbol musuh, tentu saja, adalah klub kesayangan Franco yang bermarkas di ibukota Spanyol, FC Real Madrid. Sebagai sebuah simbol perlawanan, kultur dan karakter Barcelona kemudian terbentuk dengan sendirinya. Siapapun pelatihnya, dan gaya apapun yang dipakai, karakternya hanya satu: Menyerang!.
Sebagai penyerang, Barcelona bermaksud untuk mendobrak dominasi Real Madrid (dan bagi orang Catalonia, mendobrak dominasi Spanyol). Untuk itulah Barcelona pantang bermain bertahan, karena itu adalah simbol ketakutan. Kalah atau menang adalah hal biasa. Tapi keberanian memegang karakter, itulah yang menjadi simbol perlawanan.
Pada tahun 50-an dan 60-an, Barca memang tertutup oleh kejayaan Real
Madrid yang waktu itu diperkuat Ferenc Puskas, Di Stefano, dsb. Sebagai
anak emas Franco sejak tahun 1930-an, Real Madrid memang selalu memiliki
sumber dana besar untuk belanja pemain. Barcelona sendiri, pada 2
dasawarsa tersebut hanya bisa memenangi 4 kali liga spanyol, 2 kali
piala raja, dan satu kali piala Inter City Honest (yang kemudian menjadi
UEFA Cup).
Bersama kompatriotnya, Johan Neeskens, mereka langsung membawa Barcelona
memenangi gelar liga spanyol (setelah sebelumnya 14 tahun puasa gelar),
dan dalam prosesnya tahun itu sempat mengalahkan Real Madrid di kandang
Madrid sendiri dengan skor 5-0 (!).
Selanjutnya, permusuhan itu terus ada, meskipun tidak sesengit pada
tahun-tahun awalnya, sampai sekarang. Bisa dibilang, rivalitas saat ini
sudah lebih sportif dan berjalan dengan lebih sehat. Tapi permusuhan
yang sejak dulu telah begitu mengakar menjadikan duel diantara keduanya
selalu menjanjikan sesuatu yang spesial.
Inilah mengapa duel antara Barcelona dengan Real Madrid yang terjadi setidaknya 2 kali setiap tahunnya (di liga Spanyol) disebut dengan el classico, karena memang menyajikan satu duel klasik dengan sejarah panjang terbentang dibelakangnya.
Inilah mengapa duel antara Barcelona dengan Real Madrid yang terjadi setidaknya 2 kali setiap tahunnya (di liga Spanyol) disebut dengan el classico, karena memang menyajikan satu duel klasik dengan sejarah panjang terbentang dibelakangnya.
Meski berulang setiap tahun, akan tetapi saking monumentalnya duel ini
membuat Johan Cruyff dan Bobby Robson ketika menjadi pelatih Barcelona
pada era akhir 1980-an sampai akhir 1990-an sampai mengibaratkan el
classico sebagai sebuah perang, bukan sekedar pertandingan sepak bola.
Baik pelatih Real Madrid maupun pelatih Barcelona ketika menghadapi el classico akan merasa seperti membawa sepasukan 'serdadu' perang, bukan sebuah 'kesebelasan' sepak bola, karena begitu besarnya kehormatan yang dipertaruhkan.
Baik pelatih Real Madrid maupun pelatih Barcelona ketika menghadapi el classico akan merasa seperti membawa sepasukan 'serdadu' perang, bukan sebuah 'kesebelasan' sepak bola, karena begitu besarnya kehormatan yang dipertaruhkan.
Demikian juga pertaruhan bagi pelatih, karena ketika dia diangkat
sebagai pelatih seolah sudah ada beban yang diberikan oleh klub: "Anda boleh kalah dari siapa saja di liga ini, tapi jangan sampai kalah dari Real Madrid...,"
Meski begitu di dalam lapangan, peperangan ini sepanjang sejarahnya
selalu berlangsung dalam sportifitas yang tinggi, karena sportifitas pun
merupakan satu bentuk kehormatan yang harus dijaga. Ini soal nama baik.
Transfer pemain adalah salah satu bentuk perang di luar lapangan. Dalam
hal ini, perpindahan pemain dari Barcelona ke Real Madrid (maupun
sebaliknya) akan dianggap sebagai sebuah bentuk pengkhianatans Figo
mungkin adalah salah seorang yang paling mengerti mengenai hal ini.
Direkrut oleh Barcelona pada tahun 1996, pemain Portugal yang kala itu bukan siapa-siapaa tersebut kemudian menemui masa-masa jayanya. Barcelona memberinya peranan signifikan sebagai sayap kanan tim, dan bersama Rivaldo membawa Barcelona berjaya pada akhir tahun 1990an.
Direkrut oleh Barcelona pada tahun 1996, pemain Portugal yang kala itu bukan siapa-siapaa tersebut kemudian menemui masa-masa jayanya. Barcelona memberinya peranan signifikan sebagai sayap kanan tim, dan bersama Rivaldo membawa Barcelona berjaya pada akhir tahun 1990an.
Akan tetapi, pada tahun 2001, dunia tersentak ketika Figo menerima
tawaran Real Madrid dengan iming-iming gaji dua kali lipat dan nilai
transfer yang ketika itu menjadi rekor pembelian termahal seorang pemain
sepak bola.
Nilai itu melebihi batas klausul transfer Figo, sehingga Barcelona harus
menerima tawaran tersebut berdasarkan aturan Bosman. Meski begitu,
transfer itu tetap tidak akan terjadi seandainya Figo secara pribadi
tidak menerima tawaran Real Madrid. Toh akhirnya Figo berkhianat.
Dalam duel el classico tahun
berikutnya, ketika pertandingan dilangsungkan di Nou Camp (kandang
Barcelona), Figo menerima sambutan monumental yang mungkin tidak akan
dilupakannya seumur hidup.
Seorang pendukung Barcelona di tengah-tengah pertandingan berhasil
menerobos pagar petugas keamanan, sambil memakai bendera Barcelona
sebagai jubah, kemudian berlari ke arah Figo membawa sebuah hadiah
istimewa, yakni: Sebuah kepala babi, lengkap dengan darah masih menetes
dari lehernya. Ia kemudian melemparkan bendera Barcelona dan kepala babi
itu ke arah Figo.
Figo sendiri hanya terdiam menunduk beberapa saat, lalu berjalan
menjauh. Entah apa yang ada dalam pikirannya saat itu, karena ia tahu
kepala babi itu adalah simbol keserakahan dan pengkhianatan.
Dalam hal prestasi, Real Madrid memang masih di atas Barcelona. Jarak
prestasi itu terjadi terutama pada tahun 1950-1970an, ketika Real Madrid
menjadi anak emas Franco dan memiliki kekuatan finansial jauh diatas
Barcelona untuk membeli bintang-bintang sepakbola nan bersinar dari
seluruh dunia dan tradisi itu masih berlanjut hingga sekarang.
(El Classico)
(El Classico)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar